Marronggeng di Utara Pasaman Barat
Oleh: Denni Meilizon (Penulis, Blogger, Pegiat
Literasi)
SORE belum terasa lindap ketika kami sampai di halaman
nan asri milik sekretariat Komunitas Seni Serumpun Aur (KSA) di jantung ibukota
nagari Sungai Aur Pasaman Barat. Jejeran kendaraan bermotor berselang seling
dengan tanaman bunga yang beberapa sedang mekar sedang sebagian lainnya
menguarkan rasa damai dengan permainan warna warni dedaunan. Bayangan pohon
kelapa sawit tua tergelepar di badan jalan beraspal yang dihiasi semak serta
ilalang. Di seberang jalan, sepelemparan batu saja jaraknya berdiri gagah kantor
KAN Sungai Aur berarsitektur rumah gadang bergonjong enam seakan seonggok
bahtera yang berlabuh di sehamparan tanah lapang yang kurang terawat. Sesekali
terdengar juga raungan mesin kendaraan bermotor yang melintas di jalan raya,
truk-truk sarat muatan buah kelapa sawit, bus antar kota dari dan menuju kota
Padang yang tetap setia melayani rute tersebut walaupun hanya mengangkut bangku
kosong belaka, kendaraan roda dua tanpa plat nomor dengan knalpot bising, mobil
pribadi aneka merek dari buatan tahun ketumba sampai dengan mobil mewah
terbaru, gelak tawa dan percakapan tak berarah di kedai kopi simpang jalan
tepat di depan kantor bank milik pemerintah, dan jeritan suara burung wallet
yang tentu saja dikasetkan serta suara orang mengaji yang juga dikasetkan dari
pengeras suara di menara masjid. Azan Magrib masih berjarak satu jam lagi.
Langit kelam entah pula bakal turun hujan. Tetapi semoga saja tidak turun hujan
malam ini.
Di
dalam rumah kediaman milik keluarga Yandra P. Sutan Majolelo yang sekaligus
kantor bagi Komunitas Seni Serumpun Aur itu, terlihat belum menunjukkan
kesibukan. Di beranda, Yandra nampak masih mengaso ditemani segelas teh dan
sebatang rokok. Beranda itu penuh pula dengan bunga-bunga mungil dan
beberapanya dikenal berharga cukup mahal di pasaran. Pria paroh baya lulusan
ISI Padang Panjang itu sejenak menyipitkan mata melihat kedatangan kami lalu
melonjak kaget sembari tergelak sembringah begitu mengenali tamu sore hari ini.
Spontan pula ia berteriak memanggil istrinya yang sehari-hari mengajar mata
pelajaran Sejarah di SMPN 2 Sungai Aur, memberitahukan kedatangan kami.
Malam
itu (23/2) Komunitas Seni Serumpun Aur akan meluncurkan program seni
pertunjukan 2019 bertajuk Merawat Seni Tradisi. Program ini merupakan bentuk
apresiasi sekaligus juga membuka panggung untuk kesenian tradisi di Pasaman
Barat. Kesenian tradisi di Pasaman Barat akhir-akhir ini semakin terpinggirkan
sebab kurangnya minat masyarakat, jelas Yandra. Padahal kesenian tradisi lahir
dari perut masyarakat. Terbentuk dari kearifan lokal yang kadung hidup
sehari-hari di tengah masyarakat. Masuknya kesenian pop yang tidak memiliki
akar dari masyarakat tidak akan memberikan manfaat tetapi malah mudharat bagi
kehidupan masyarakat. Sayangnya, akibat sikap hidup instan dan hedonis, budaya
pop inilah yang sekarang digandrungi orang. Anak-anak muda saat ini malahan
malu untuk mempelajari kesenian tradisi daerahnya sendiri, ulas Yandra sambil
sesekali menerawang dengan mata yang lembab.
Sebagai
pembuka program tersebut, KSA menyajikan pertunjukan kesenian Ronggeng dengan
konsep seni jalanan. Ini bak rendezvous pemain Ronggeng di utara Pasaman Barat.
Benar saja, usai azan magrib berkumandang, sekretariat KSA di Sungai Aur itu
segera ramai. Satu persatu personil rombongan Ronggeng berdatangan. Usia mereka
terbilang sudah tidak muda lagi. Beberapa bahkan sudah menginjak usia 60 tahun.
Ada 20 orang pemain yang tampil malam itu. Delapan belas pemain laki-laki dan
dua orang perempuan. Formasi Ronggeng yang tampil malam itu tetap menampilkan
format standar. Terdiri dari satu orang pemain biola, dua orang pemain gendang
dua, satu orang memainkan kerincing atau ersek, selebihnya sebagai pelantun
pantun. Ada sembilan lagu yang dibawakan, masing-masing lagu disajikan dengan
khas.
Pemain
Ronggeng di Pasaman Barat terutama yang bermukim di bagian utara jarang sekali
tampil memakai kostum yang memadai. Agaknya, penampilan Ronggeng bagi mereka
yang terfokus kepada permainannya saja. Perhatian kepada properti, kelayakan
sound system, make up dan pakaian
tidak selalu diperhatikan. Tetapi inilah yang justru menjadi perhatian Yandra
Putra Sutan Majolelo. KSA sendiri saat ini dapat dikatakan memiliki peralatan
dan perlengkapan yang cukup untuk penampilan seni pertunjukan. Maka, jadilah
pemain Ronggeng yang kebanyakan berusia tua itu dibekali pakaian yang pantas
oleh KSA. Seperangkat baju beludru khas pemain Randai dipakaikan kepada mereka.
Karena memang tidak terbiasa, ada pula yang malu-malu untuk memakai pakaian
tersebut. Saling ledek, senda gurau dan saling sindir mewarnai sesi persiapan.
Tepat
pukul 22.00 WIB rombongan beranjak pindah ke Pasar Sungai Aur, tempat acara
akan digelar. Tentu saja, ini menarik perhatian masyarakat di sekitar pasar
yang buka dua kali sepekan itu. Rencananya, panggung dibuka di halaman kantor
Walinagari Sungai Aur tetapi setelah ditimbang kembali dirasakan tidak memadai
karena selain sempit, juga penerangan sedikit kurang. Belum lagi adanya pagar
pembatas sehingga dirasa menyulitkan masyarakat yang ingin menyaksikan
pertunjukan ini. Maka, pertunjukan diadakan di pinggir jalan raya tepat di
depan pasar tersebut. Pemilihan tempat ini sesungguhnya amat tepat karena
memang berada di tengah beberapa kedai kopi dan beberapa warung kelontong.
Karena saat itu malam Minggu, masyarakat masih ramai berkerumun dan langsung
tertarik mengerumuni lokasi.
Selain
pemain Ronggeng yang sudah terbiasa tampil, malam itu Yandra bersama KSA menyiapkan
penampilan anggota sanggar KSA sendiri, tampil didampingi pemain yang
profesional. Ini merupakan upaya untuk alih generasi, memperkenalkan kembali
kesenian khas Pasaman Barat itu kepada generasi muda. Sepengamatan kami, justru
penampilan anak-anak muda itulah yang cukup mendapat apresiasi dan diminati.
Selain masyarakat sekitar, berdatangan pula penonton dari jorong sekitarnya.
Beberapa kendaraan bermotor juga sempat berhenti dan membuat lalulintas macet.
Wajah-wajah
orangtua yang nampak hadir malam itu terlihat merona bahagia. Kesimpulan kami
melihat hal tersebut, kesenian Ronggeng sejatinya masih mendapat tempat
terutama dalam hati masyarakat usia lanjut yang sempat menikmati kejayaan
kesenian ini di masa lalu.
Sebetulnya,
dari wawancara kami ke beberapa pihak yang mengetahui kesenian Ronggeng ini,
setiap Nagari di Pasaman Barat dulu pernah ada kesenian Ronggeng terutama
Nagari yang dihuni penutur bahasa Melayu Pasaman Barat. Bahasa yang bukan
Minang dan bukan pula Mandailing. Selain itu, setiap kelompok Ronggeng juga
memiliki cirinya masing-masing. Ada kelompok Ronggeng yang semuanya laki-laki,
sehingga karena Ronggeng harus ada unsur perempuannya maka pemain laki-laki
itulah yang dipakaikan busana perempuan lengkap dengan make up-nya.
Pertunjukan
malam itu berakhir pukul 01.00 WIB pagi. Sebagai penanggungjawab acara, Yandra
melihat bahwa kerinduan masyarakat kepada pertunjukan tradisi terlihat jelas
sekali. Ia berujar kalau acara malam ini membuatnya semakin bergairah untuk
meneruskan program Merawat Seni Tradisi 2019 ini hingga akhir tahun ini. “Yang
terpenting bagi saya, anak-anak sanggar KSA mendapatkan sumber belajar langsung
dari pelaku seni tradisi. Insya Allah hal seperti ini akan terus kita kerjakan
demi menjadikan Sungai Aur sebagai Nagari Budaya di Pasaman Barat,” pungkas
Yandra seusai acara ditutup.[DM]
Komentar
Posting Komentar