Legenda Puti Sangka Bulan
Di Ankat Dari Kisah Nyata Kehidupan Seorang Pemuda Pengembara
Puncak Trimarta Gunung Talamau Top Sumbar |
(Dimuat
oleh Harian SINGGALANG edisi Minggu, 28 Agustus 2016 halaman Khasanah)
DARI mana mimpi
itu datang?
Edwar tak
mengerti. Awalnya ia seekor ikan yang berenang dan menyelami palung sebuah
danau, mengaduk lumpur busuk di dasarnya lalu melompat tinggi menggapai langit
biru (ataukah merah?) dan kini tiba-tiba saja ia berada di atas tempat tidur;
kehabisan napas, mengerjap-ngerjapkan mata, gamang dan perlahan menyadari
kehadiran orang-orang di sekelilingnya (sebelumnya seseorang telah menyemburkan
air yang membuat wajahnya basah dan kini ia merasa dingin), sampai saat itu ia
masih belum mengerti.
“Sutan Laut
Api!”
Edwar terbeliak.
Ia mendengar suara itu lagi.
“Sutan Laut Api!
Sutan Laut Api!”
Ia menatap nanar
ke sekelilingnya. Mencari asal suara.
“Keluar!” teriak
seseorang. Lalu tiba-tiba, entah datang dari mana, Edwar merasakan sekumpulan
denging meneror di dalam kepalanya. Matanya nanar. Berkunang-kunang.
“Keluar kau,
Sutan! Tinggalkan raga anak ini. Kembalilah kau ke duniamu!” desis seseorang
dengan beringas meniup telinganya, memukul ubun-ubunnya dan menghantam
punggungnya dengan… Entah apa. Edwar berontak.
Ia kesakitan.
Sangat sakit.
***
Siang itu,
Sangkabulan ingin sekali menari. Di balerong, Sangkabulan dan dua saudaranya
beserta putri-putri pejabat kerajaan Panggambiran diajari tari, sastra dan
musik oleh Ompu Pado. Usia Ompu Pado sendiri sudah lebih satu abad. Sebetulnya
tidak ada yang tahu pasti berapa umur orangtua itu. Dan secara turun temurun
Ompu Pado diserahi tanggungjawab untuk mengajari anak-anak raja Panggambiran.
Sangkabulan
merasa kalau hari ini ia mesti ke balerong. Tetapi di mana gerangan kakaknya
Lenggogeni dan Madang Dewi? Apakah mereka sudah di balerong? Sangkabulan sudah
mencari kedua kakaknya itu ke kamar mereka akan tetapi tidak ada. Ia lalu
berkeliling dan menanyakan kepada upa-upa. Upa-upa memberi tahu kalau kedua
kakaknya sudah sejak tadi ke balerong.
Bergegas ia ke
ruang pasinggarahan putri. Lamat-lamat Sangkabulan memang mendengar bunyi yang
tak asing. Alunan bansi, rabab dan gamelan. Dengung ogung, hentak gordang dan
petikan kecapi. Sebab itu ia harus mempercepat langkah. Marahkah Ompu Pado
padanya? Ah, tidak mungkin. Mana mungkin orangtua itu berani memarahi putri
raja. Sangkabulan tersenyum simpul. Langkah kakinya bergegas menuju balerong.
Ia melewati
taman bunga. Tak ia perhatikan bunga-bunga yang sedang mekar. Air mancur di
kelilingi kolam air deras dengan ikan-ikan dari Lubuak Landua dan Kinali. Ia
berlari kecil. Gemerincing gelang kaki, selendangnya yang menyibak angin,
rambutnya mayang terurai dan harum tubuhnya balutan aroma bunga tujuh rupa.
Wajah cantik itu berpeluh. Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke balerong. Di
sana, dalam siluet dibiaskan cahaya matahari ia sudah melihat Lenggogeni dan Madang
Dewi asyik menari. Di sebelah mereka, Ompu Pado sedang memperagakan sebuah
gerak dan manakala ia menyadari kehadiran Sangkabulan, mendadak ia memberi
tanda berhenti kepada pemain musik. Sangkabulan terkesiap sejenak. Balerong itu
hening. Semua orang menatap lurus kepadanya. Ia salah tingkah.
“Meninggalkan
latihan tanpa alasan sungguh perbuatan yang tidak pantas wahai Putri Raja yang
cantik bak bulan purnama..” sambut Ompu Pado. “Namun, syukurlah. Ternyata Tuan
Putri hari ini mau latihan lagi.” Lalu ia menoleh kepada pengiring, “Ayo
mainkan lagi, Paregat. Sampai di mana kita tadi?”
Siang begitu
cerah, tanpa awan. Tanpa disadari oleh siapapun, dari tempat yang jauh,
seseorang (kelak kita kenal sebagai Sutan Laut Api) sedang bersemadi memusatkan
pikiran menerawangi semua kejadian di balerong istana.
Sutan Laut Api
sudah lama menaruh kagum kepada putri bungsu raja itu. Gadis perawan beraroma
bunga tujuh rupa. Mabuk kepayang. Sayangnya tuah raja teramat berat untuk
ditembus. Istana dibentengi pagar gaib tingkat tinggi. Bahkan untuk menerawang
ini saja, ia harus mengerahkan segenap tenaga yang ia miliki. Sebab itulah
cuaca hari itu lain dari biasanya. Ambigu. Tetapi orang biasa tidak akan
merasakannya.
Langit menyerap
kekuatan gelap. Bumi mengeram mantera-mantera. Udara legam. Kilat-kilat aneh
kadang muncul. Dan fenomena demikian tak menjadi perhatian bagi mereka yang
sedang menari di balerong.
***
Sekelompok anak
muda mendirikan tenda tak seberapa jauh dari bibir Danau Laut Tinggal. Bahasa
Minang bercampur Mandailing terdengar bersahutan. Mereka datang dari Padang.
Salah seorang
dari rombongan itu sibuk sekali menjepretkan kamera saku. Dipotonya danau yang
beriak. Belukar yang rimbun. Kawanan burung yang terbang rendah. Ia ambil poto
kawan-kawannya. Dan lebih satu setengah jam kemudian, di tengah senda gurau dan
gelak tawa, sesuatu diluar nalar terjadi. Salah satu poto yang diambil anak
muda tadi menampilkan gambar yang aneh dan merindingkan bulu roma. Terlihat
siluet seorang perempuan dengan selendang menyibak, rambut mayang terurai,
dalam gerakan seperti menari melayang begitu saja di atas permukaan Danau Laut
Tinggal. Beberapa meter dari tempat mereka mendirikan tenda. Semua orang saling
pandang. Ada ketakutan. Ada kengerian. Mau tidak percaya tapi gambar dalam poto
tidak bisa disangkal. Apalagi baru satu setengah jam yang lalu gambar itu
diambil.
Tiba-tiba
sebentuk angin dingin berembus. Dari tengah danau muncul pusaran angin
bergulung dengan cepat. Semua orang menjerit tertahan lalu semburat dan lari
tunggang langgang.
Di tengah teror
alam itu, hanya satu orang saja dari mereka yang tetap diam di tempat, tidak
beranjak sedepapun. Ia berdiri terpaku. Menatap lurus ke arah danau. Angin dan
dedaun kering berhamburan ke wajahnya. Tetapi ia sepertinya tidak peduli. Ada
sesuatu di sana, di tengah danau. Ada sesuatu di dalam pikiran sekaligus ada
sesuatu yang mendadak dirasakannya pergi. Tiba-tiba saja ia merasakan sakit.
Sakit sekali. Perih. Perih sekali. Entah apa.
Anak muda itu
adalah Edwar. Berhari-hari setelah hari itu, ia diseret alam mimpi menjadi ikan
besar.
“Sutan Laut Api!
“Sutan Laut Api!”
***
Sangkabulan
dilanda demam tinggi. Mirah Delima, upa-upa pengasuhnya kini cemas bukan
buatan. Junjungannya tidak pernah sakit seperti ini. Ia sudah meremas dedaun
ramuan, sudah membaluri tubuh Sangkabulan dengan air perasan. Dupa juga sudah
dibakar. Dan demam tubuh Sangkabulan belum turun juga.
“Bagaimana,
Upa?” sebuah suara beraksen berat mengejutkan Mirah Delima.
Mirah Delima
langsung saja berlutut membuat sembah.
“Ampunkan Patik,
Tuanku. Patik lalai menjaga Tuan Putri sehingga beliau sakit begini,” sembah
Mirah Delima.
“Sudahlah, Upa.
Bukan salahmu. Sakit dan sehat itu kehendak Sang Agung. Setiap sakit pasti ada
obatnya. Sebentar lagi biarkan Datu yang mengobati Putri Sangkabulan. Sakit
demam itu biasa saja, Upa,” jawab junjungan tanah Pasaman itu menenangkan hati
sahayanya.
“Terimakasih
Paduka. Mohon izinkan Patik tetap menjaga yang mulia Tuan Putri. Patik telah
membaluri tubuh Tuan Putri dengan ramuan bulung galunggung, lasiak dan si
dingin-dingin. air putih hangat kuku sudah Patik minumkan pula tadi,” jelas
Mirah Delima.
Laki-laki
berbadan tegap, dengan segenap aura ketenangan dan kemuliaan itu menghampiri
Sangkabulan yang terbaring memejamkan mata. Ia meraba dahi Sangkabulan dengan
punggung tangan. Ia mengangguk-angguk mengelus dagunya.
Selagi ia masih
duduk di sisi Sangkabulan, masuklah Datu istana. Ia memegang carano bertutup
kain wol kuning keemasan.
Dengan tenang
diperiksanya Sangkabulan. Mulutnya berkomat kamit.
“Ini bukan demam
biasa, Paduka. Satu kekuatan jahat telah menembus istana ini. Kita harus
menyiapkan ritual tolak bala,” bisiknya kepada Sang Raja.
Raja menatap
Datu istana itu. Ia melihat kecemasan.
“Apakah Sutan
Laut Api?” tanyanya ragu-ragu.
Datu terdiam.
Sekilat saja, ia mengangguk memberi tanda. Di luar Istana hujan tumpah dari
langit.
***
Begitulah
dikemudian hari, melewati abad demi abad. Gunung Talamau menyimpan narasi masa
lampau, berpilin-pilin dalam urat tanah. Gema lenguh Sangkabulan yang sakit,
diguna-gunai Sutan Laut Api menguar jauh, merasuk ke dalam bukit-bukit batu dan
sekujur badan Gunung Pasaman. Talamau dan Pasaman, dengan narasi bagaimana bisa
dikelindankan? Kini, dalam diri anak muda itu, kenangan masa lalu mengumpul
menggenang dalam darah.
“Siapa kamu?!”
Edwar menggeram.
Mulutnya merapalkan kata-kata aneh. Matanya semerah saga. Ia mencoba melawan.
Tujuh orang laki-laki kuat memegangi tangan, kaki, kepala dan badannya. Ia
merasa sangat sakit. Tetapi ia juga merasakan kekuatan. Kuat sekali.
“Saya Sutan Laut
Api! Ha-ha-ha-ha….!” sebuah suara yang sudah meminjam mulutnya menjawab. Edwar
sebetulnya ingin menjawab dengan menyebutkan namanya. Dan ia heran, kenapa Datu
itu tidak mengenalinya? Siapa yang tak kenal dengan Edwar? Di kampung ini, tak
ada yang tidak kenal dirinya sebagaimana pula ia mengenali setiap orang yang
kini sedang melumuri tubuhnya dengan kesakitan.
Ia kembali
mencoba melepaskan diri. Untuk kesekian kalinya sebuah semburan berbau busuk
terasa menerpa wajahnya. Ia merasa muak. Lalu sakit. Sakit sekali. Tetapi ia
merasa sangat kuat.
“Bawa aku ke
puncak Talamau tepat di malam ke empatbelas. Aku akan memadu cinta dengan
Sangkabulan di sana!” Sutan Laut Api di dalam raga Edwar berbisik ke telinga
Datu itu.
Bukankah malam
nanti bulan purnama akan menyibak langit Pasaman? []
Padang, 2016
Catatan kaki:
-
Ompu: Kakek
-
Balerong: Balairung, ruang terbuka
-
Pasinggarahan: Tempat mukim, rumah tinggal
-
Upa-upa: pengasuh
-
Datu: Tabib, orang yang ahli dalam pengobatan
-
Ogung dan Gordang: jenis alat musik pengiring dari Mandailing
-
Bulung: daun. Galunggung, lasiak dan si dingin-dingin: nama tumbuhan
Komentar
Posting Komentar